Setelah
berhasil membuat gebrakan di pendopo keraton sang dalang ini semakin terkenal
dan semakin banyak jadwal pentas yang diterimanya, meski demikian hal itu tidak
membuat si dalang menjadi sombong dan berpenampilan glamor, si dalang tetap
berpenampilan sederhana dan rendah hati,bahkan saat men-dalang hanya memakai
pakaian serba hitam dan memakai ikat kepala atau iket sebagai udeng, hinga suatu hari ki gondho martoyo yang telah
mendapatkan istri seorang selir raja itu tengah diundang disebuah kadipaten
untuk mementaskan pertunjukan wayang kulit. Ia pentas disebuah pendopo di salah
satu kadipaten di dekat daerah asalnya. Meski tidak ikut pentas, sang
istri/selir raja yang dihadiahkan itu ikut menunggu si dalang yang tengah
mempertunjukan pertunjukan wayang kulit.
Seperti
biasa , dalam pentas si dalang mempertunjukan kelihaiannya dalam melakukan
gerak gerik dan drama disetiap adegan wayang kulit. Hingga sampai adegan perang
kembang yaitu adegan perang antara arjuna dengan raksasa, yang biasanya adegan
ini dimainkan setelah goro-goro atau selingan dalam pertunjukan wayang, si
dalang mendengar ada beberapa penonton yang menghibah si dalang “dalange gur kaya wong ngarit kok, bojone
ayumen”/”dalangnya hanya seperti orang mencari rumput kok istrinya cantik
sekali”,, setelah mendengar suara itu si dalang hanya diam dan tidak marah, ia
menyelesaikan adegan perang antara arjuna dengan raksasa itu hingga selesai
dengan gugurnya raksasa oleh panah arjuna.
Setelah
adegan perang itu selesai si dalang berdiri dari tempat duduknya dan
menghampiri para penonton dengan membawa wayang panah yang baru saja dipakai
untuk menampilkan tokoh arjuna memanah tersebut, kemudian si dalang menghadap
ke salah satu saka guru pendopo itu dan
menancapkan panah yang hanya terbuat dari kulit kerbau itu pada tiang penyangga
pendopo yang terbuat dari kayu layaknya menancapkan senjata logam pada pohon
pisang, , setelah itu si dalang membuat sayembara kepada masyarakat dan para
penonton yang menggoda istrinya,, “wes rasah mbedo bojoku, nek kowe do isoh
njabut panah iki bojoku pek’en”/ “sudah,tidak usah meggoda istriku, jika kalian
bisa mencabut panah ini, istriku boleh kalian ambil”,,
Hingga
pertunjukan berakhir tidak ada satupun yang bisa mencabut panah yang
ditancapkan oleh sang dalang linuwih ini, dan hal ini membuktikan kepada
masyarakat bahwa ternyata si dalang tidak hanya pandai dalam memainkan tokoh
wayang dan memainkan setiap adegan dalam wayang kulit namun sang dalang memang
orang terpilih dan bukan orang sembarangan yang memiliki kelebihan dan
diberikan oleh Tuhan YME kelebihan yang lain dari yang lain.
Setelah
sayembara itu si dalang semakin terhormat dan disegani oleh masyarakat umum, si
dalang memiliki banyak keturunan dan semuanya menjadi orang hebat dan dihormati
oleh masyarakat umum,.
0 komentar:
Posting Komentar